RASULULLAH SEORANG PSIKOLOG DAN SOSIOLOG
RASULULLAH SEORANG PSIKOLOG DAN SOSIOLOG
Rasulullah
bergaul dengan semua orang. Beliau bergaul dengan berbagai strata sosial, baik
kalangan bawah seperti budak, pengemis, anak-anak; maupun kalangan atas seperti
pengusaha dan para tokoh. Jika bergaul Rasulullah dapat menyesuaikan dengan
lawan bicaranya dan memperhatikan bagaimana karateristik lawan bicaranya.
Beliau juga bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda
gurau dengan orang tua. Akan tetapi beliau tidak berkata kecuali yang benar
saja.
Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi bahwa, suatu hari ada seorang
perempuan datang kepada beliau lalu berkata, “Ya Rasulullah, naikkan saya ke
atas unta”.
“Aku akan
naikkan engkau ke atas anak unta.” kata Rasulullah.
“Ia tidak
mampu.” kata perempuan itu.
“Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta.”
“Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta.”
“Ia tidak
mampu”.
Rasulullah
menjawab, “Aku tidak bilang anak unta itu masih kecil, yang jelas dia adalah
anak unta. Tidak mungkin seekor anak unta lahir dari ibu selain unta.” Para
sahabat yang ada disitu tersenyum dan ia pun mengerti canda Rasulullah.
Datang seorang
perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah, “Ya Rasulullah, suamiku jatuh
sakit. Dia memanggilmu”.
“Semoga suamimu
yang dalam matanya putih.” kata Rasulullah.
Perempuan itu
kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya
dengan keheranan, “kenapa kamu ini?”
“Rasulullah
memberitahu bahwa dalam matamu putih.” kata istrinya menerangkan.
“Bukankah semua
mata ada warna putih?” kata suaminya.
Diriwayatkan
oleh Tirmidzi, bahwa seorang perempuan tua berkata kepada Rasulullah, “Ya
Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam surga.”
“Wahai Ummi
Fulan, surga tidak dimasuki oleh orang tua.”
Perempuan itu
lalu menangis.
Rasulullah
menjelaskan, “tidakkah kamu membaca firman Allah ini, ‘Serta kami telah
menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan
mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai
jodohnya, serta yang sebaya umurnya’ (QS. Al Waqi’ah: 35-37).”
Para sahabat Rasulullah suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagai gunung yang teguh. Na’im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata-kata dan melihat gelagatnya, Rasulullah turut tersenyum.
Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Anas, bahwa seorang sahabat bernama Zahir, dia agak lemah
daya pikirannya. Namun Rasulullah mencintainya. Zahir ini sering menyendiri
menghabiskan hari-harinya di gurun pasir. Sehingga, kata Rasulullah, “Zahir ini
adalah lelaki padang pasir, dan kita semua tinggal di kotanya”.
Suatu hari
ketika Rasulullah sedang ke pasar, dia melihat Zahir sedang berdiri melihat
barang-barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah memeluk Zahir dari belakang dengan
erat. “Heii……siapa ini? lepaskan aku!” Zahir memberontak dan menoleh ke
belakang, ternyata yang memeluknya Rasulullah.
Zahir pun
segera menyandarkan tubuhnya dan lebih mengeratkan pelukan Rasulullah.
Rasulullah berkata, “Wahai umat manusia, siapa yang mau membeli budak ini?”
Zahir menjawab, “Ya Rasulullah, aku ini tidak bernilai di pandangan mereka”
“Tapi di pandangan Allah, engkau sungguh bernilai Zahir.” kata Rasulullah.
Mau dibeli
Allah atau dibeli manusia?” Zahir pun makin mengeratkan tubuhnya dan merasa
damai di pelukan Rasulullah.
Diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah juga pernah bersabda kepada ‘Asiyah,
“Aku tahu saat kamu senang kepadaku dan saat kamu marah kepadaku.” Aisyah
bertanya, “Dari mana engkau mengetahuinya?” Beliau menjawab, ” Kalau engkau
sedang senang kepadaku, engkau akan mengatakan dalam sumpahmu “Tidak demi Tuhan
Muhammad.”
Akan tetapi
jika engkau sedang marah, engkau akan bersumpah, “Tidak demi Tuhan Ibrahim!”.
Aisyah pun menjawab, “Benar, tapi demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak akan
meninggalkan, kecuali namamu saja.”
Subhanallah, Maha Suci Allah… Ketika itu,
Rasulullah adalah seorang rasul, pemimpin umat dan pemimpin negara, tetapi cara
bergaul atau bersosialnya tidak berubah hanya karena kedudukan. Beliau bergaul
sebagaimana sifat orang ‘jelata’ ketika berbicara dengan orang ‘jelata’,
sebagaimana seorang ayah ketika bergaul dengan anak, sebagaimana seorang anak
ketika bergaul dengan orang tua, sebagaimana seorang panglima ketika berjihad
di jalan Allah, dan sebagainya. Dengan kata lain, dalam hal aplikasi pergaulan
ini beliau adalah seorang ‘Maha Profesor Psikologi’ dan ‘Maha Profesor Sosiologi’
secara bersamaan.
Sumber : https://mahluktermulia.wordpress.com
Sumber : https://mahluktermulia.wordpress.com
0 komentar